EDISI APRESIASI PUISI KONTEMPORER @ MAHMUD HIDAYAT *COLONNES SANS FIN* SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya tiang tanpa topang tanpa apa di atasku tiang tanpa akhir tanpa duka lukaku tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu tiang tanpa akhir menuju ke mana kau dan aku yang langit koyak yang surga tumpah karena tinggi tikammu luka terhenyak neraka semakin galak dalam botolmu tiang tanpa akhir ah betapa kecilnya kau jauh di bawah kakiku Tiang (tonggak) adalah “kiasan sesuatu yag menjadi pokok kekuatan, penghidupan, dsb.” (KBBI, 2014: 1459). Dikatakan dalam puisi tersebut bahwa pokok kekuatan (penghidupan, dsb.) itu _tanpa akhir_ (“Colonnes Sans Fin”), tanpa ujung, tidak berkesudahan atau berpenghabisan sehingga tidak terlihat apa yang ada di atasnya ( _tanpa apa di atasnya_ ) dan tidak tahu rahasia apa yang ada di dalamnya. Akan tetapi, penghidupan ( _tiang_ ) tanpa fungsi penyokong atau penunjang ( _topang_ ) kehidupan akan membuat aku kehilangan harapan atau tujuan hidup ( _tanpa apa di atasku_ ) sehingga tidak ada lagi _...

Tiga kalimat untuk dan dari Xi Jinping, Presiden RRC

**

Sebagai seorang anak, saya anak yang egois.
Yang selalu saya pikirkan adalah diri saya; saya  tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Akibatnya, para sahabat  satu per satu meninggalkan saya. Ini membuatku sangat kesal. Ini bukan salahku, mereka yg salah.

Suatu malam, ayah saya memasak dua mangkuk mie. Ada sebutir telur putih di atas salah satu mangkok; di mangkuk lainnya tidak terlihat apa-apa.

Ayah saya bertanya kepada saya, mangkuk mana yang kamu pilih? Saat itu, telur adalah makanan yang sangat mahal. Jika bukan sedang ada perayaan atau tahun baru, sangat sulit untuk dapat memakannya. Tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan ini. Tanpa ragu saya memilih mangkok dengan telur.

Tapi pilihanku salah. Saat saya dengan bangga makan telur itu, saya terkejut ketika menemukan bahwa mangkuk ayah saya sebenarnya berisi dua telur. Saya menyesal, membenci diriku yg terlalu tidak sabar.

Melihat ini, ayah tersenyum dan berkata kepadaku:  "Anakku, kamu harus ingat,
**yang terlihat mata mungkin tidak benar,
Orang yang ingin mengambil keuntungan dari uang orang lain pada akhirnya dapat rugi besar** "

Malam berikutnya, ayah memasak dua mangkuk mie lagi. Masih ada telur putih di satu mangkuk. Pd mangkuk lainnya tidak terlihat apa-apa. Ayah memintaku memilih. Kali ini saya telah belajar; saya pilih mangkuk tanpa telur di permukaan. Ayah mengawasi saya diam-diam dan tidak berkata apa-apa.

Saya dengan cepat mengambil sumpit dan mengaduk mie. Saya pikir akan ada dua butir telur putih di bawah. Tetapi segera saya kecewa karena tidak ada apa pun kecuali kuah di bagian bawah mangkuk.

Pada saat ini, ayah berkata kepada saya dengan penuh makna: "Anakku, kamu harus ingat, **jangan terlalu percaya pada pengalaman sebelumnya, karena kehidupan terkadang menipumu.** Namun, kamu tidak perlu khawatir atau sedih. Semua ini adalah pengalaman hidup. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat kamu pelajari dari buku."

Pada malam ketiga, ayah saya memasak dua mangkuk mie lagi. Satu mangkuk dengan telur putih, mangkuk lainnya tidak terlihat apa-apa.

Ayah saya meminta saya untuk memilih lebih dulu. Kali ini saya tidak gegabah. Sebaliknya, saya berkata kepada ayah: "Ayah, kamu adalah kepala keluarga. Ayah telah berkorban terlalu banyak untuk keluarga ini, kamu yg memilih!"

Ayah tidak menolak dan langsung memilih mangkuk dengan telur di atasnya. Saya kira pasti tidak ada telur di mangkuk yg tersisa. Anehnya, saya sangat beruntung karena saya memiliki dua telur putih di dasar mangkuk.

Ayah lalu mendongak; dengan matanya yg penuh dengan kebaikan, dia berkata kepada saya dengan ringan: "Anakku, kamu harus ingat, **ketika kamu memikirkan orang lain, semoga keberuntungan menaungi kepalamu. ** "

Kata-kata ayahku ini membuatku termenung. Sejak itu, saya memakai tiga kalimat pelajaran hidup itu sebagai pedoman. Dlm melakukan berbagai hal, selalu kepentingan orang lainlah yg saya pikirkan pertama kali... Dan benarlah seperti ayah katakan, keberuntungan selalu mengikuti karier saya.

~ Xi Jinping ~

Komentar