EDISI APRESIASI PUISI KONTEMPORER @ MAHMUD HIDAYAT *COLONNES SANS FIN* SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya tiang tanpa topang tanpa apa di atasku tiang tanpa akhir tanpa duka lukaku tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu tiang tanpa akhir menuju ke mana kau dan aku yang langit koyak yang surga tumpah karena tinggi tikammu luka terhenyak neraka semakin galak dalam botolmu tiang tanpa akhir ah betapa kecilnya kau jauh di bawah kakiku Tiang (tonggak) adalah “kiasan sesuatu yag menjadi pokok kekuatan, penghidupan, dsb.” (KBBI, 2014: 1459). Dikatakan dalam puisi tersebut bahwa pokok kekuatan (penghidupan, dsb.) itu _tanpa akhir_ (“Colonnes Sans Fin”), tanpa ujung, tidak berkesudahan atau berpenghabisan sehingga tidak terlihat apa yang ada di atasnya ( _tanpa apa di atasnya_ ) dan tidak tahu rahasia apa yang ada di dalamnya. Akan tetapi, penghidupan ( _tiang_ ) tanpa fungsi penyokong atau penunjang ( _topang_ ) kehidupan akan membuat aku kehilangan harapan atau tujuan hidup ( _tanpa apa di atasku_ ) sehingga tidak ada lagi _duka laraku_ (kecewa at

TAFSIR HARFIAH “PADAMU JUA” AMIR HAMZAH

**
Mahmud Hidayat

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Jika tidak ada harta benda yang tinggal lagi (“habis kikis”; dalam KBBI, kikis/ki•kis/ v habis (harta benda)) karena sudah digunakan, dibagikan, dimakan, dan sebagainya oleh aku, segala yang aku sukai atau sayangi di dunia ini (“cintaku”) pun dengan sendirinya lenyap atau tidak ada lagi (“hilang terbang”). Dalam keadaan seperti ini, aku memilih balik ke tempat asal atau ke keadaan semula (“pulang kembali”) sebagaimana ketika aku masih bersama engkau (“aku padamu”). Bahkan, demi penguatan keteguhan cintanya kepada –mu (engkau), Amir Hamzah menambahinya dengan “Seperti dahulu” (di masa lampau). Ini menandakan bahwa cinta aku kepada engkau tidak pernah luntur oleh waktu.

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Tidak aneh jika begitu besar cintanya aku kepada –mu (engkau). “Engkau” (kekasihnya di masa lampau itu) dipandang oleh aku sebagai “kandil” (pelita, lampu) yang gemerlap (indah, cantik). Kecantikan kekasihnya digambarkan sebagai lampu (“pelita”) yang diletakkan di “jendela” yang mampu menerangi “malam” (waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit) yang “gelap” (tidak ada cahaya, kelam, tidak terang) atau –dengan perkataan lain-- kekasihnya itu penuh dengan pesona. Kekasih aku yang penuh pesona itu kerapkali (“selalu”) menggerak-gerakkan tangan turun naik (untuk memanggil dan mengajak) (“melambai”) aku. Lambaian (panggilan, ajakan kembali) engkau dirasakan oleh aku begitu “perlahan” (lemah lembut, tidak tergesa-gesa; tidak cepat, atau harus langsung dituruti), “sabar” (tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu), “setia” (berpegang teguh dalam pendirian, janji; tidak pindah ke lain hati), dan “selalu” (sering, terus-menerus, tidak pernah tidak).

Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Menurut aku, hanya “satu (ke)kasihku” (yang paling dicintainya) di dunia ini yang dikaruniai kecantikan fisik (“kandil kemerlap”) dan hati yang baik (“sabar, setia, selalu”) seperti itu. Akan tetapi, aku adalah “manusia” (makhluk yang berakal budi), punya pikir punya rasa. Sebagai manusia, aku sangat ingin dan berharap benar indra tubuhnya dapat merasakan atau menanggapi kehadiran kekasihnya (“rindu rasa”) dan memandang lebih dekat paras muka (roman muka; tampang muka, raut muka) kekasih tercintanya (“rindu rupa”). Aku ingin berdekatan dengan engkau bak sepasang kekasih (“Rindu rasa rindu rupa”).

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Keberadaan –mu (engkau) tidak diketahui oleh aku. Aku terlihat menanyakan keberadaan engkau (“Di mana engkau”) yang tidak diketahuinya. Terbukti paras muka (roman muka, tampang muka, raut muka) kekasihnya tersebut tidak dapat dilihat oleh aku dan perkataan engkau pun kurang cukup terdengar oleh aku (“Suara sayup”). Kehadiran engkau hanya dapat dirasakan dan didengar oleh aku dalam hati (“merangkai hati”) ketika barangkali aku dirasuki rindu.

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Selain itu, engkau dikatakan oleh aku bertabiat “cemburu” (kurang percaya, curiga, tidak atau kurang senang melihat ada orang lain, dan sebagainya dekat dengan aku) dan “ganas” (galak dan suka menyerang, melawan). Akan tetapi, aku justru senang dijadikan “mangsa” (sasaran perbuatan jahat) dari kuku yang panjang dan tajam (“cakar”) dari kekasihnya. Di saat tertentu, kekasihnya itu dapat dikendalikan dan dipegang dengan tangan aku (“tangkap”), tetapi –di saat lainnya—kekasihnya itu memang sering lolos dari kendali aku dan bergerak entah ke mana perginya (“lepas”).
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Akibat polah tingkah kekasihnya, aku menjadi “nanar” (pusing, agak hilang akal, marah sekali) dan “gila sasar” (sangat gila; sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal). Meskipun demikian, rasa sayang, cinta, kasih aku tidak lain dari atau hanya kepada engkau kembali lagi (“Sayang berulang padamu jua”). Tabiat aneh, tidak biasa (“pelik”) dan jarang dipunyai oleh kaum perempuan itulah yang membuat aku menaruh hasrat kasih (sayang, suka, ingin) terhadap engkau (“menarik ingin”). Hasrat kasih sayang tersebut digambarkan oleh penyairnya bak perawan yang mengintip malu-malu di belakang kain pemisah ruangan (yang tergantung) (“dara di balik tirai”).
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku

Aku mengakui bahwa perasaan sayang (cinta, suka) aku kepada engkau (“kasihku”) tanpa kehadiran atau perjumpaan fisik engkau di sisi aku (“sunyi”). Aku sudah lama menantikan kedatangan engkau atau menunggui engkau yang mesti datang atau bakal terjadi sesuatu (“menunggu”) sendirian (“seorang diri”). Lantas, ketika saat yang ditentukan (ditunggu) itu pun tiba, ternyata kesempatan itu bukan untuk aku, melainkan orang lain, sehingga aku meyakini bahwa sampai mati pun (“mati hari”) tampaknya engkau tidak bakal jadi jodohku (“bukan kawanku”> kawan hidup=istri).

Kini, ketika aku ditinggal oleh semua yang paling disayangi dan dicintainya di dunia ini, aku kembali ingin merajut cinta masa lalunya lagi. Akhirnya, “Padamu Jua”, begitulah desis rindu Amir Hmzah pada Ilik Sundari, gadis Solo, yang pernah menjadi kekasihnya.

Komentar