EDISI APRESIASI PUISI KONTEMPORER @ MAHMUD HIDAYAT *COLONNES SANS FIN* SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya tiang tanpa topang tanpa apa di atasku tiang tanpa akhir tanpa duka lukaku tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu tiang tanpa akhir menuju ke mana kau dan aku yang langit koyak yang surga tumpah karena tinggi tikammu luka terhenyak neraka semakin galak dalam botolmu tiang tanpa akhir ah betapa kecilnya kau jauh di bawah kakiku Tiang (tonggak) adalah “kiasan sesuatu yag menjadi pokok kekuatan, penghidupan, dsb.” (KBBI, 2014: 1459). Dikatakan dalam puisi tersebut bahwa pokok kekuatan (penghidupan, dsb.) itu _tanpa akhir_ (“Colonnes Sans Fin”), tanpa ujung, tidak berkesudahan atau berpenghabisan sehingga tidak terlihat apa yang ada di atasnya ( _tanpa apa di atasnya_ ) dan tidak tahu rahasia apa yang ada di dalamnya. Akan tetapi, penghidupan ( _tiang_ ) tanpa fungsi penyokong atau penunjang ( _topang_ ) kehidupan akan membuat aku kehilangan harapan atau tujuan hidup ( _tanpa apa di atasku_ ) sehingga tidak ada lagi _...

RASYAD FOUNDATION True Stor FCy

Anak kecil ini hebat, namanya Rasyad asal Kuwait, usia 7 tahun, putera tunggal milyuner Kuwait.
Saat itu ia terbaring di rumah sakit, 23 hari diopname tanpa di-temani papa mamanya yang kebetulan sibuk dengan pekerjaannya.

Hari ke-23, papa mamanya datang menjenguk dan meminta maaf, karena tak sempat mendampinginya.
Papa mamanya menghiburnya sambil berkata, "Papa mama sibuk untuk mempersiapkan masa depanmu sayang."

Papa mamanya menunjukkan foto2 proyek dan rumah yang tengah dibangunnya untuk dirinya kelak, disamping rumah yang tengah di tempatinya sekarang.

Anak ini tersenyum dan bertanya,
"Siapa yang bisa menjamin hari esok saya masih hidup, papaku dan mamaku.. ?
Siapa yang menjamin semua yang papa mama miliki saat ini adalah untukku..?
Dan apa manfaat semua yang papa mama miliki apabila nanti tak ditempati.. ?"

Anak yang baru sekolah di kelas SD ini pun akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan  senyuman yang betul2 "memukul" hati orangtuanya.

Apa yang terjadi pada orangtuanya selepas wafatnya ananda tercintanya, merupakan kisah yang tak kalah mengharukan.

Setelah anak kecil itu dikuburkan, rumah tangga menjadi senyap, sesekali terdengar isak tangis, tangis kesedihan bercampur penyesalan. Kesedihan mendalam memang seringkali ditandai dengan diam, walau tak jarang juga ditandai dengan teriakan umpatan kesedihan atau jeritan duka.

Hari2 berlalu dengan evaluasi kehidupan pasangan ini. Sayangnya, evaluasi yang dilakukan bukan didasarkan pada kedewasaan pikir dan kematangan emosi.

Suami menyalahkan Istri yang ikut2an berkarir, sehingga melupakan tugas utama seorang ibu yang menjadi "taman surga" bagi anaknya.
Istri menyalahkan suaminya yang setiap hari bicaranya hanya soal duit, duit dan duit.

Pertengkaran pun memuncak, Suami menyebutkan kata cerai.
Istri menjerit dan membanting semua yang ada di sekitarnya, termasuk foto keluarga yang ada di sampingnya.

Foto itu adalah foto dirinya, suaminya dan anaknya yang sedang tersenyum di suatu taman yang pernah dikunjunginya.
Foto itu baru saja dipasang satu bulan sebelum Rasyad, anaknya masuk rumah sakit.

Foto itu dilemparkan, kacanya pecah berserakan, sebagian mengenai wajah Suaminya.
Ternyata, di balik foto itu ada tulisan anaknya, berbunyi,
"Mama Papa, semoga kita bertiga senantiasa menyatu sampai di akhirat kelak."

Suami istri ini akhirnya terdiam, lama saling memandang, akhirnya terlarut dalam tangisan jiwa yang mendalam.
Merekapun saling mendekat, kemudian saling merangkul. Suaminya berbisik, "Kita tidak boleh berpisah. Kita harus bersatu selalu, dengan anak kita, sampai ajal menjemput kelak."

Setelah mereka rujuk, ada perubahan mendasar dalam kehidupan mereka. Perubahan yang secara tiba2 karena suatu peristiwa luar biasa yang menyentuh hati, sehingga menjadi landasan pacu titik balik kehidupan, dalam psikologi disebut dengan epifani.

Konsep kehidupannya yang awalnya adalah kerja, kerja dan kerja, berubah menjadi ibadah, ibadah dan kerja.

Sejak saat itu definisi hidupnya berubah dari "having mood" menjadi "being mood".
Having mood adalah perasaan bangga karena memiliki walau tidak bisa menikmati dan memanfaatkan. Sementara being mood adalah merasa bangga dan bersyukur dengan apa yang dijalani, walau tak banyak yang dia miliki.

Orang yang punya 10 mobil tapi yang digunakan hanya satu saja dan merasa nyaman dengan kepemilikan itu, padahal tidak digunakannya, maka ia terjangkit penyakit "having mood."

Sementara yang tidak  punya mobil, tapi menikmati hari2-nya dengan naik kendaraan umum, maka ia tipe orang bahagia dengan "being mood."

Kita termasuk yang mana..?

Orang tua Rasyad ini kemudian mewakafkan beberapa rumah dan cottage yang dimilikinya untuk  menjadi pusat kegiatan agama yang diberi nama Rasyad Foundation.
😊🙏🙏🙏

Semoga kita dapat menghargai anak2 kita sebagai  anugerah, menjadikannya sebaik-baiknya anugerah.

Mari kita melewati hari kita dengan  rasa syukur..

Selamat PaGi 😇😊

Komentar