AKULTURASI BUDAYA DALAM PILIHAN BAHASA PEDAGANG ETNIS TIONGHOA
PADA RANAH PERDAGANGAN DI KOTA SALATIGA
ARTIKEL
TESIS
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar
Magister Pendidikan
Oleh
Thomas Christian
Wahyuintan
NIM 0202513026
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Artikel tesis dengan judul “Akulturasi Budaya dalam Pilihan Bahasa Pedagang Etnis
Tionghoa pada Ranah
Perdagangan di Kota Salatiga”
yang disusun oleh:
nama :
Thomas Christian Wahyuintan
NIM : 0202513026
program Studi :
S-2
Pendidikan Bahasa Indonesia
telah disetujui
pembimbing untuk diajukan
sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti Ujian
Tesis.
Semarang,
11 Februari
2016
Pembimbing I, Pembimbing
II,
Prof. Dr. Rustono, M.Hum. Dr. Mimi Mulyani, M.Hum.
NIP 19580127 198303 1 003 NIP 196203181989032003
Akulturasi Budaya dalam Pilihan
Bahasa
Pedagang Etnis Tionghoa
pada Ranah Perdagangan di Kota Salatiga”
Thomas Christian* Rustono dan Mimi Mulyani**
Prodi
Pendidikan Bahasa Indonesia,
Program
Pascasarjana Universitas
Negeri
Semarang
Jl.
Bendan Ngisor Semarang 50229
Abstrak
Tujuan penelitian sosiolinguistik ini adalah (1) memaparkan pilihan bahasa; (2)
akulturasi budaya dalam pilihan bahasa, dan; (3) mengidentifikasi faktor penyebabkan pilihan
bahasa pedagang
etnis Tionghoa
di Salatiga. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode simak dan teknik
catat. Analisis
data penelitian
ini
adalah
analisis
sosiolinguistis.
Pemaparan hasil
analisis
data
menggunakan
metode
kualitatif.
Hasil penelitian ini adalah, ditemukannya pilihan bahasa dalam tuturan pedagang etnis Tionghoa di
Kota Salatiga. Pilihan bahasa tersebut meliputi variasi tunggal bahasa,
alih kode, dan
campur kode. Dalam pilihan bahasa tersebut ditemukan akulturasi budaya berupa adat istiadat dan kebiasaan yang dimiliki etnis Jawa. Akulturasi budaya tersebut muncul dalam variasi tunggal
bahasa, alih kode dan
campur
kode. Faktor
yang melatarbelakangi
digunakannya variasi tunggal bahasa, yaitu situasi (tempat atau latar peristiwa tutur) dan partisipan dalam interaksi. Alih kode disebabkan oleh partisipan, situasi, dan isi wacana,
sedangkan campur kode disebabkan oleh penekanan maksud, keterbatasan penguasaan
kode, dan istilah yang lebih popular.
Kata kunci: akulturasi
budaya;
pilihan bahasa;
pedagang etnis
Tionghoa
Abstract
Sociolinguistic
research
objectives are: (1) provide a choice
of
languages; (2)
describe acculturation in a choice of languages, and; (3) identify the factors of cause of ethnic Chinese
language options traders in Salatiga. The data collection methods
and techniques refer to the
note. The
data
analysis of this
research
is
the
analysis
sosiolinguistis. Exposure data analysis using qualitative methods. Results of this research
is the discovery of the choice
of language in the speech of
ethnic Chinese traders in Salatiga. The language options include variations of a single language, code switching and
code-mixing. In the choice of such language is found acculturation in the form of customs and habits that are owned Javanese. Acculturation appears in single variation of language, code switching and code-mixing. Factors
behind the use of a single variety of languages,
namely the situation (a place or
background speech event) and the participants in the
interaction. Rather the code is caused by participants, the situation, and the content of the
discourse, while the code-mixing caused by compression intent, limited mastery of the
code,
and terms that are more popular.
Keywords:
acculturation;
choice of language;
ethnic Chinese traders
Pendahuluan
Penggunaan bahasa di dalam masyarakat tidak dapat terlepas dari faktor sosial dan budaya. Gunarwan
(2001a:55-56) menyatakan bahwa masyarakat tidak bersifat monolitik,
tetapi terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang
terbentuk oleh kesamaan fitur.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka di dalam sosiolinguistik bahasa terdiri atas ragam- ragam yang terbentuk oleh kelompok-kelompok sosial yang ada. McCormack dan Wurm
(1979:615) berpendapat bahwa di dalam bahasa tercermin suatu kebudayaan, sebanyak dalam bahasa tersebut tercipta kebudayaan. Bahasa ada dalam pikiran manusia, tertuang keluar dari dirinya, dan bisa menjadi sumber kebudayaan. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dipahami bahwa pada
tiap
kelompok
masyarakat memiliki
nilai-nilai sosial dan budaya yang
terlihat dari
penggunaan
bahasa mereka
yang berbeda
dari masyarakat
kelompok lainnya.
Setiap kelompok masyarakat memiliki perbedaan bahasa, hal ini disebabkan oleh lingkungan
sosial
mereka
masing-masing.
Kelompok tutur
yang memiliki
perbedaan
linguistik apabila berinteraksi secara verbal maka tanpa mereka sadari akan menimbulkan
kontak bahasa. Kontak bahasa berarti bertemunya dua bahasa yang berbeda dari kelompok
tutur yang berbeda. Peristiwa yang berlansung secara terus menerus, maka akan terbentuk
masyarakat dwibahasa atau multibahasa yang memiliki lebih dari satu bahasa. Masyarakat
tutur tersebut akan mempunyai pilihan bahasa yang akan digunakan ketika
berinteraksi
dengan mitra tutur.
Pilihan bahasa merupakan kajian sosiolinguis yang menarik karena kajiannya tidak
hanya berkaitan dengan aspek kebahasaan saja melainkan juga aspek sosial dan budaya
dalam masyarakat. Hal itu dapat dibuktikan dari sifat bahasa yang variatif. Sifatnya yang
variatif terjadi karena bahasa ditentukan oleh faktor sosial, budaya, dan situasional dari
penuturnya. Alasan pilihan
bahasa
menarik untuk dikaji, selain sifatnya
yang variatif
adalah
karena hubungan dengan
penggunaannya di masyarakat
(Hudson 1996:1-2).
Pilihan bahasa yang sesuai
dengan
situasi
tutur,
berarti juga
berkaitan
dengan
faktor budaya masyarakat tutur tersebut. Pada setiap pilihan bahasa pasti akan terdapat budaya yang melekat pada bahasa tersebut. Demikian, dapat dikatakan bahwa keberagaan bahasa akan
disertai juga
dengan keberagaman budaya.
Peristiwa kontak bahasa oleh kelompok tutur yang berbeda, tanpa disadari juga
akan diiringi dengan kontak budaya.
Kebudayaan dari kelompok masyarakat yang berbeda, apabila saling bersentuhan
secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu, maka pada budaya tersebut perlahan
akan
terjadi proses akulturasi atau penyatuan budaya (akulturasi budaya). Persentuhan
budaya
itu terjadi dengan berbagai perantara, salah satunya yaitu bahasa. Penggunaan bahasa dari kelompok tutur satu dengan kelompok tutur lain ketika berinteraksi, tanpa disadari akan terjadi
akulturasi budaya.
Kelompok masyarakat dengan budaya yang berakulturasi merupakan tanda bahwa kelompok tersebut telah berinteraksi dalam kurun waktu yang relatif lama. Fenomena
akulturasi dapat
dijadikan tanda bahwa suatu
kelompok
telah beradaptasi
dengan kebudayaan lain.
Akulturasi budaya sudah selayaknya terjadi namun tidak boleh
sampai meninggalkan atau menghapus budaya asli mereka sendiri. Proses akulturasi budaya dapat dilihat, salah satunya dari pilihan bahasa suatu kelompok masyarakat yang meliputi bahasa
tunggal, alih kode dan campur kode. Proses akulturasi budaya akan terlihat pada kota yang multietnis. Pada kota multietnis akan terdapat keragaman bahasa yang
digunakan, sehingga
akan
terjadi proses akulturasi budaya lewat kontak
bahasa dari
etnis yang
berbeda tersebut.
Etnis Tionghoa di Kota Salatiga memiliki keberagaman bahasa yang diakibatkan
oleh interaksi dengan etnis lain,
salah satunya yaitu etnis Jawa. Proses interaksi etnis Tionghoa, etnis Jawa dan etnis
lainnya terjadi di kawasan Jalan Jendral Sudirman. Pada
kawasan itu etnis Tionghoa
dan etnis Jawa
adalah
dua etnis yang paling mendominasi. Mereka berinteraksi
dalam bidang perdagangan
yaitu interaksi jual beli. Kawasan
perdagangan itu terdiri atas pertokoan, pasar, pedagang kaki lima, warung
dan lainnya. Pada ranah perdagangan itu, Etnis Tionghoa dapat berperan sebagai penjual atau pembeli
sama seperti etnis Jawa.
Kebudayaan etnis Tionghoa di Kota Salatiga mendapat pengaruh dari kebudayaan etnis Jawa dan
etnis
lainnya.
Hal itu
dibuktikan dengan keragaman bahasa mereka.
Interaksi yang dilakukan etnis Tionghoa dengan etnis jawa dan etnis lainnnya berakibat terjadi kontak bahasa yang secara otomatis berakibat kepada akulturasi budaya. Akulturasi
budaya mereka banyak terjadi di ranah perdagangan di sepanjang Jalan Jendral Sudirman
Salatiga. Akulturasi budaya etnis Tionghoa di ranah perdagangan mendapat pengaruh dari etnis Jawa. Etnis Jawa dikenal sebagai penduduk
asli pribumi di Salatiga yang memiliki
beragam budaya. Kebudayaan etnis Jawa dapat terlihat dari penggunaan bahasa mereka
ketika berinteraksi mitra tutur. Pilihan bahasa etnis Jawa adalah bahasa Jawa yang terdiri
dari tingkatan “ngoko”, “madya”, dan “kromo” dan bahasa Indonesia. Akulturasi budaya etnis Tionghoa dan etnis Jawa dapat dilihat dari pilihan bahasa yang digunakan etnis Tionghoa ketika berinteraksi. Berdasarkan hasil
pengamatan awal di lapangan
dengan menggunakan teknik sadap dan catat, ditemukan adanya akulturasi budaya dalam campur kode pedagang entis Tionghoa, yaitu pada penyebutan kata “bela diri”
yang sebenarnya
dalam kosa kata etnis Tionghoa disebut “kungfu”. Bela diri digunakan secara dominan
oleh etnis Jawa di
Salatiga
sehingga menimbulkan akulturasi
budaya bagi
etnis
Tionghoa.
Pada penelitian ini, aspek terpenting adalah akulturasi budaya yang terdapat dalam
pilihan bahasa etnis Tionghoa pada ranah perdagangan. Oleh karena itu, penelitian akan
mengkaji akulturasi budaya yang terdapat dalam pilihan bahasa tunggal, alih kode dan
campur kode etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di sepanjang Jalan Jendral Sudirman
di Kota Salatiga. Etnis Tionghoa dan etnis Jawa selalu berdampingan di ranah perdagangan
Salatiga,
maka bahasa dan
budaya
mereka
juga selalu berdampingan pada ranah
perdagangan itu. Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi pada pilihan
bahasa yang digunakan, akulturasi budaya dalam pilihan bahasa
dan faktor penentu pilihan bahasa
pedagang etnis Tionghoa
dalam ranah perdagangan di Salatiga.
Rumusan
masalah penelitian ini adalah pilihan bahasa apakah yang digunakan, akulturasi budaya apakah yang
ada
dalam pilihan
bahasa
pedagang
etnis
Tionghoa,
dan faktor apa
saja yang
menyebabkan pilihan
bahasa pedagang etnis Tionghoa
dalam ranah
perdagangan di Salatiga. Tujuan Penelitian ini, yaitu memaparkan pilihan bahasa pedagang
etnis
Tionghoa, memaparkan akulturasi
budaya
dalam pilihan
bahasa
pedagang etnis Tionghoa, dan mengidentifikasi faktor apa
saja yang
menyebabkan pilihan
bahasa
pedagang etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di Salatiga.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan teoretis sosiolinguistis. Pada penelitian dengan pendekatan sosiolinguistis, pemilihan bahasa menjadi fakta sosial dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini
juga digunakan metodologis kualitatif. Dengan metodologis kualitatif, penelitian ini berorientasi pada gejala alami atau natural yang hanya dapat diperoleh
dengan cara turun ke lapangan.
Peneliti
dalam penelitian
ini
berperan sebagai human instrument
dan sumber
data bersifat alami
(Moleong 1995:121-125). Berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini, maka digunakan metodologis kualitatif
deskriptif sebagai pedoman pelaksanaan penelitian. Data
yang dikumpulkan dengan metodologis kualitatif deskriptif berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan
keterangan dalam
bentuk uraian untuk deskripsi masalah.
Data penelitian ini berupa penggalan percakapan yang berwujud akulturasi budaya
dalam pilihan bahasa pedagang etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di Kota Salatiga dan konteks
sosial dari hasil rekam dan wawancara. Sumber data penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu penggalan percakapan masyarakat etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di Salatiga dan sumber data
sekunder adalah informan, sedangkan lokasi
penelitian akulturasi budaya dalam pilihan
bahasa ini dilakukan pada ranah perdagangan di Kota Salatiga. Ranah perdagangan tersebut adalah kawasan
pertokoan tepatnya di kawasan
Jalan
Jendral Sudirman Salatiga.
Teknik Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada latar alami (natural setting)
yaitu lokasi-lokasi pada
ranah
perdagangan
yang didalamnya terjadi
interaksi
antaretnis entis Tionghoa dan
etnis lainnya. Ranah perdagangan tersebut adalah kawasan
pertokoan hingga pasar yang terdapat banyak
pedagang dari etnis Tionghoa.
Pada tahap
pengumpulan
data dalam penelitian
digunakan teknik simak untuk
pengambilan data primer dan teknik wawancara serta dokumentasi untuk pengambilan data sekunder. Data dikumpulkan dengan teknik simak, baik dengan teknik
simak libat cakap
(SLC) maupun teknik simak bebas libat cakap (SLBC) (Sudaryanto 1993: 133-135). Kedua teknik itu diakhiri dengan klasifikasi atau pengelompokan kartu data. Tujuan kartu data ini
adalah sebagai wadah data dalam proses pencarian, analisis data, dan digunakan untuk
pengamatan penutur
pada
ranah perdagangan
dalam pemakaian
variasi
bahasa
yang didalamnya terdapat akulturasi budaya dan pemberian makna pada tinjauan data. Data yang sudah diolah kemudian
dianalisis. Prosedur yang
dugunakan untuk analisis
data pada
penelitian ini yaitu, (1) analisis selama proses pengumpulan data, dan (2) analisis setelah
pengumpulan
data (Miles
dan Huberman 1984:21-25;
Muhadjir
1996:105).
Teknik penyajian data dalam penelitian ini disesuaikan menurut Sudaryanto (1993:144-145) yang
berpendapat bahwa penyajian data dibagi menjadi dua yaitu penyajian data informal dan
penyajian
data formal.
Hasil Penelitian
dan
Pembahasan
Hasil penelitian dan
pembahasan pada penelitian ini meliputi
paparan
tentang pilihan
bahasa
yang digunakan
pedagang
etnis
Tionghoa
pada
ranah perdagangan
di
Salatiga. Pilihan bahasa tersebut meliputi variasi tunggal bahasa, alih kode, dan campur
kode. Variasi tunggal bahasa terdiri dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko, alih kode yang terjadi yaitu alih kode eksternal, dan campur kode
terjadi pada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko. Pada pembahasan mengenai pilihan bahasa akan
disajikan 24 data dalam wujud transkrip
penggalan
percakapan. Hasil
penelitian dan
pembahasan berikutnya yaitu
wujud
akulturasi budaya yang
ada dalam pilihan
bahasa
pedagang etnis Tionghoa. Akulturasi budaya pedagang etnis Tionghoa di Salatiga diambil
dari etnis Jawa yang tersebut
terdiri atas adat istiadat dan kebiasaan. Akulturasi budaya
tersebut terjadi dalam bentuk pilihan bahasa
meliputi variasi tunggal bahasa, alih kode, campur kode. Pada pembahasan akulturasi budaya dalam pilihan bahasa akan disajikan 24
data dalam wujud transkrip penggalan percakapan. Dalam penelitian ini, juga dipaparkan
faktor yang
melatarbelakangi digunakannya variasi tunggal bahasa, yaitu situasi (tempat atau
latar peristiwa tutur) dan
partisipan dalam
interaksi. Alih kode disebabkan oleh partisipan, situasi, dan isi wacana, sedangkan
campur kode disebabkan oleh penekanan
maksud, keterbatasan penguasaan
kode,
dan
istilah yang lebih popular.
Bentuk Pilihan Bahasa Etnis Tionghoa pada
Ranah Perdagangan di Kota Salatiga
Hasil dan pembahasan berikut yaitu tentang pilihan bahasa pedagang etnis Tionghoa di
salatiga, yang meliputi variasi tunggal
bahasa, alih kode, campur
kode. Pilihan bahasa pedagang
etnis
Tionghoa
pada ranah perdagangan
di
Salatiga,
teridentifikasikan pada
pemakaian variasi bahasanya. Terdapat tiga
jenis variasi yang
dapat digunakan
oleh
pedagang etnis Tionghoa, yaitu variasi tunggal bahasa, variasi alih kode dan variasi campur kode. Dalam masing-masing variasi akan
disajikan data dan pembahasannya.
Dalam penggalan percakapan (1) antara pedagang dan pembeli berikut,
menggunakan variasi tunggal
bahasa Indonesia.
(1) KONTEKS : PERCAKAPAN TERJADI ANTARA PEDAGANG ETNIS TIONGHOA DAN
PEMBELI DARI
ETNIS TIONGHOA DI SEBUAH CAFFE.
PEDAGANG : “Minume apa Mbak?”.
[minumε
apa әmba?]
(Minuman apa yang ingin
dipesan Mbak?) PEMBELI : “Jus
strawberry sama es coffemix Mbak”
[juz stroberry sama εs cOfimĩx әmba?]
(Saya memesan jus strawberry dan es
merek
coffemix Mbak) PEDAGANG : “Jusnya libur
ik Mbak”
[jusña libUr i? әmba?]
(Jusnya untuk
sementara habis
Mbak)
PEMBELI : “Es Jeruk Mbak”
[εs
jәrU? әmba?]
(Kalau begitu
saya pesan es jeruk
saja Mbak) PEDAGANG : “Ya Mbak, ditunggu
sebentar ya”
[ya әmba?,
ditUnggu sәbәntar ya]
(Baik Mbak,
tolong ditunggu
minumannya sebentar)
Pedagang etnis Tionghoa menjadi pemulai peristiwa tutur pada penggalan percakapan (1)
tersebut. Pada
konteks ini, pedagang diwajibkan menyapa pembeli terlebih dahulu dan
menanyakan
keperluannya. Pilihan
bahasa pedagang etnis Tionghoa tersebut dalam
menyapa dan menanyakan keperluan pembeli,
menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada
tuturan “minume apa Mbak?”. Pembeli juga menggunakan pilihan bahasa yang sama dalam
menyesuaikan dengan pilihan bahasa pedagang, seperti pada tuturan “jus strawberry sama es coffemix Mbak”. Pilihan variasi tunggal bahasa Indonesia oleh pedagang etnis Tionghoa
dilakukan sebagai penghormatan
pada pembeli, karena pedagang di caffe seperti itu
diwajibkan menghormati pembeli yang
datang. Menurut
pedagang
etnis
Tionghoa,
pelayanan yang baik kepada pembeli,
bukan hanya
berupa tindakan atau aktivitas tetapi
juga
berupa pilihan bahasa yang tepat. Jika pedagang etnis Tionghoa tersebut menggunakan
bahasa Jawa untuk melayani pembeli, maka pembeli tersebut pasti telah dikenal dan terlibat
situasi
akrab sebelumnya, sehingga tidak diperlukan
penghormatan
pada pembeli
tersebut.
Temuan variasi alih kode yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ragam krama,
seperti pada penggalan
percakapan (2) berikut.
(2) KONTEKS : PERISTIWA TUTUR TERJADI DI SEBUAH WARUNG NASI GORENG ANTARA
PEDAGANG
DAN PEMBELI
YANG MEMBELI NASI GORENG.
PEDAGANG : “Ada lima ratus?” [ada lĩma ratus]
(ada uang lima ratus
rupiah?) PEMBELI : “Dah
bawa
dulu aja nda apa”
[dah bawa dulu aja
әnda? apa]
(Sudah uang kembaliannya di
simpan dulu saja Pak) PEDAGANG : “Ninggal
sik
ya Mas”
[niɳ gal sĩk ya mas]
(Saya simpan
dulu ya Mas?)
PEMBELI : “Nggih Pak, gampang,
monggo”
[ɳ gĩh
pa?, gampaɳ , mOɳ gO]
(Ya Pak, tidak masalah, mari)
Ketika pedagang tidak memiliki uang kembalian untuk
pembeli, pedagang menggunakan tuturan “ninggal sek ya Mas”. Pedagang etnis Tionghoa dalam menjawab
tuturan tersebut berusaha menyesuaikan pilihan bahasanya dengan pembeli yang menggunakan pilihan
bahasa
Jawa
ragam krama.
Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi alih kode pada penggalan
percakapan antara pedagang
etnis
Tionghoa dan pembeli dari etnis Jawa. Alih kode tersebut adalah alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa ragam krama. Peralihan kode ini tidak disertai dengan peralihan
situasi
tutur karena pembeli
ingin tetap
mempertahankan
situasi
tutur
berjarak sebagai
bentuk rasa hormat
kepada pedagang etnis
Tionghoa.
Akulturasi Budaya Jawa dalam Variasi Tunggal Bahasa, Alih Kode, dan Campur
Kode Pedagang
Etnis Tionghoa di Kota Salatiga
Pada setiap pilihan bahasa dari suatu masyarakat tutur, terdapat unsur budaya yang
melekat dalam bahasa tersebut. Pada ranah perdagangan di Salatiga, akulturasi budaya
melekat dalam pilihan bahasa, yaitu variasi tunggal bahasa. Wujud variasi tunggal bahasa yang digunakan
pedagang etnis Tionghoa
salah
satunya adalah bahasa
Indonesia Pada penggalan percakapan antara pedagang etnis Tionghoa
dengan pembeli dari etnis Jawa berikut, terdapat akulturasi budaya yang melekat didalamnya. Akulturasi budaya tersebut melekat dalam wujud variasi tunggal bahasa pada bahasa Indonesia oleh pedagang etnis
Tionghoa di Salatiga,
seperti pada penggalan
percakapan berikut.
(3) KONTEKS : PERISTIWA
TUTUR
TERJADI DI SEBUAH KONTER
HP,
ANTARA SEORANG PEDAGANG DENGAN SEORANG PEMBELI YANG BELUM DIKENAL.
PEDAGANG : “Di Cek ya Mas?.” [dĩ
cε?
ya mas]
(tolong di cek
kuotanya mas) PEMBELI : “Iya, di potong sekalian Mas
SIMnya.”
[iya dĩ
pOtOɳ sәkalĩayan mas simña]
(Iya, tolong di
potong SIMnya menjadi
ukuran kecil sekalian)
PEDAGANG : “Siap”
[sĩyap’] (Baik)
PEMBELI : “Kemaren
kok tutup Mas?” [kәmaren kO?
tutup mas]
(Kemaren tokonya kenapa ditutup
Mas?) PEDAGANG : “Lebaran pada pulang Mas
sini”.
[lәbaran pada pulaɳ mas sĩnĩ]
(Kalau
lebaran
pegawai di toko
pulang semua Mas)
PEMBELI : “Aku mau
beli dari kemaren tutup
terus”.
[aku maʷ bәlĩ darĩ
kәmaren tutup
tәrus]
(Sejak
kemaren saya ingin
membeli kartu tetapi tokonya tutup
terus)
PEDAGANG : “Lha ini dah
buka, Ini Mas.” [la ĩnĩ dah buka, ĩnĩ mas]
(Tetapi sekarang sudah buka Mas)
PEMBELI : “Iya Mas, ini empat lima ribu.
Makasih ya mas.” [ĩya mas, ĩnĩ
әmpat lĩma rĩbU.
Makasĩh ya mas]
(Iya Mas,
ini uangnya berjumlah
empat puluh lima ribu. terimakasih
Mas)
PEDAGANG : “Iya Mas, sama-sama.” [ĩya mas, sama-sama]
(Iya Mas, terimakasih kembali)
Sebuah akulturasi budaya dapat diamati dari bentuk variasi tunggal bahasa tersebut ketika
pembeli bertanya
“kemaren kog
tutup Mas?”, pedagang dari etnis Tionghoa memberi
jawaban “Lha kemaren
awal puasa to? Ya libur Mas”. Pada kutipan tersebut, pedagang
dari etnis Tionghoa mengatakan tokonya
libur jika awal puasa. Menutup toko pada awal puasa biasa dilakukan oleh sebagian pedagang
Jawa bahkan di beberapa daerah di Indonesia
yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Dalam kutipan tersebut diketahui bahwa etnis Tionghoa
juga melakukan
budaya
yang sama
seperti
yang dilakukan
oleh
kebanyakan
pedagang di Jawa. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi akulturasi
budaya pada ranah perdagangan etnis Tionghoa dengan budaya perdagangan yang ada di
Jawa.
Pada penggalan percakapan (4) berikut juga melekat akulturasi budaya. Akulturasi budaya tersebut terdapat dalam variasi tunggal bahasa Jawa ragam ngoko. Pada percakapan berikut
ini, pedagang dan pembeli sama-sama berasal dari etnis Tionghoa.
(4) KONTEKS : PERISTIWA
TUTUR TERJADI DI SEBUAH
TOKO
SEPATU,
ANTARA PEMBELI DAN PEDAGANG YANG KEDUANYA ADALAH
ETNIS TIONGHOA.
PEDAGANG : “Rungatus Cik”
[rUɳ atus
ci?]
(Harganya dua ratus ribu
rupiah Mbak)
PEMBELI : “Dikorting ah”
[dikOrtĩɳ ah]
(Diturunkan harganya)
PEDAGANG : “Wis
Murah Cik, mumpung
bodo
sih
murah, mengko
malah mundak”
[wĩs murah
ci?,
mumpUɳ bOdO sĩh murah,
mәɳ kO malah
munda?]
(Sudah murah
Mbak,
Mumpung
masih
hari raya lebaran masih murah, nanti setelah
lebaran
bisa naik)
PEMBELI : “Pas ki?”
[pas ki]
(Harga pas
ini?)
PEDAGANG : “Pas, tenan”.
[pas, tәnan]
(Pas, benar)
Pada percakapan tersebut pedagang etnis Tionghoa menuturkan jika harga barang pada hari
lebaran akan murah, seperti pada tuturan “Wis Murah Cik,
mumpung bodo sek murah,
mengko malah mundak”. Pada perdagangan di Jawa, pedagang etnis Jawa jika lebaran datang akan menurunkan harga sandang berupa baju, sepatu, dan celana. Pemberian diskon atau yang mereka sebut
kortingan dilakukan pedagang untuk
menarik
minat pembeli. Dalam
penggalan
percakapan
tersebut, hal
yang sama juga dilakukan oleh pedagang etnis
Tionghoa
pada bulan lebaran dengan memberi kortingan atau potongan harga seperti yang dilakukan dalam perdagangan di Jawa.
Berdasarkan bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi akulturasi budaya
pada pedagang etnis Tionghoa dalam
penggalan percakapan tersebut. Akulturasi budaya berupa pemberian kortingan
atau potongan harga dagangan ketika hari raya lebaran oleh pedagang dari etnis Tionghoa. Akulturasi budaya ini berwujud gagasan, yaitu aturan jual beli, dalam hal ini pemberian diskon
pada hari raya
tertentu.
Latarbelakang yang menyebabkan akulturasi budaya adalah penyesuaian terhadap
kebudayaan yang dominan. Budaya tersebut dilakukan untuk menarik minat pembeli saat
lebaran karena akan
banyak
permintaan konsumen.
Faktor Penyebab Pilihan Bahasa Pedagang Etnis Tionghoa pada Ranah Pedagangan di
Kota
Salatiga
Faktor penyebab pilihan bahasa ditentukan dengan pertimbangan unsur berbahasa
yang dirumuskan Hymes dengan jembatan keledai SPEAKING. Selain itu, faktor penyebab
yang ditemukan dalam
penelitian ini juga dirumuskan berdasarkan konteks, antara lain berdasarkan rumusan Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982:
125) yang mengidentifikasikan empat faktor utama
yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu (1) situasi, (2) partisipan
dalam interaksi, (3)
topik percakapan, dan (4) fungsi
interaksi.
Variasi alih kode dalam penggalan percakapan (3) berikut disebabkan karena kehadiran orang ketiga yang membawa bahasa berbeda yaitu bahasa Indonesia kedalam tuturan awal bahasa Jawa.
(3) KONTEKS ` : SEBUAH PERISTIWA TUTUR TERJADI DISEBUAH LAPAK
DAGANG DI PASAR, ANTARA SEORANG PEDAGANG DENGAN SEORANG PEMBELI, KEMUDIAN DATANG PEMBELI LAIN YANG MELAKUKAN PERCAKAPAN DENGAN PEDAGANG TERSEBUT.
PEDAGANG : “Menehe digawa ngene, opo
diwadahi dunak Mbah?”
[Mәnεhe digOwO ηεnε OpO diwadai duna?
әmbah] (Sisanya mau dibawa begini saja apa mau
dimasukan ke dalam dunak Mbah)
PEMBELI 1 : “Diwadahi
dunak
wae!”
[diwadahi
duna? waε]
(Dimasukan
ke dalam dunak
saja) PEMBELI 2 : “Cik pisange masih?”
[ci? pisaɳ e masĩh]
(Mbak
apakah
pisangnya masih ada?)
PEDAGANG : “Oh belum mateng,
besok ya”.
[Oh bәlum mateɳ , bәsO? ya]
(Pisangnya belum masak,
besok saja ya?)
PEMBELI : “Oh iya udah”
[Oh iya udah] (Oh
iya sudah)
Pedagang etnis Tionghoa pada penggalan percakapan tersebut mulanya berbicara dengan seorang
pembeli lalu datang pembeli
lain.
Penggalan percakapan tersebut, merupakan
penggunaan alih kode oleh pedagang dari
etnis
Tionghoa dan
pembeli.
Pedagang mengawali tuturan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko pada pembeli, seperti pada kutipan “Menehe digawa ngene, opo diwadahi dunak Mbah?”. Hal ini dikarenakan pembeli
dan
pedagang telah saling mengenal dan keduanya merupakan pedagang di pasar tersebut sehingga tidak diperlukan penghormatan namun diperlukan
keakraban. Pembeli yang
sebenarnya juga merupakan pedagang di pasar tersebut juga menanggapi dengan bahasa
Jawa ragam ngoko, seperti pada kutipan “Diwadahi dunak wae!”. Namun, ketika hadir
pembeli kedua yang
menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada kutipan “Cik pisange masih?”, pedagang beralih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko kedalam bahasa Indonesia, seperti pada kutipan “Oh belum mateng, besok ya”. Fenomena
alih kode tersebut terjadi
karena hadirnya penutur ketiga yang menggunakan bahasa Indonesia
kepada pedagang.
Pedagang memutuskan beralih kode karena pedagang
tau
pembeli
tersebut
kurang
menguasai bahasa Jawa dikarenakan usianya yang masih muda. Peralihan kode ditujukan
untuk menghindari kesalahan
tujuan
interaksi. Berdasarkan
paparan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hadirnya orang ketiga yang membawa ragam bahasa Indonesia adalah alasan pedagang beralih kode dari
bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan dalam penelitian,
simpulan penelitian ini adalah pilihan bahasa yang digunakan pedagang etnis Tionghoa
pada ranah perdagangan di Salatiga dibagi menjadi tiga, meliputi variasi tunggal bahasa,
variasi alih kode, dan variasi campur kode. Wujud variasi
tunggal
bahasa pedagang etnis Tionghoa, meliputi (1) variasi tunggal bahasa Indonesia,
dan (2) variasi tunggal bahasa Jawa. Pada ranah perdagangan di Salatiga, tidak dijumpai penggunaan variasi tunggal
bahasa
Jawa
ragam
krama
oleh
pedagang etnis Tionghoa. Hal
ini
disebabkan
karena minimnya kode (parole) yang dikuasai. Variasi alih kode yang digunakan oleh pedagang
etnis Tionghoa
pada ranah perdagangan, ditemukan berupa variasi alih kode eksternal (esternal code switching). Variasi alih kode ini berwujud peralihan antarbahasa dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa dan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Pada penggunaan bahasa Jawa, lebih banyak ditemukan bahasa Jawa ragam ngoko, sedangkan ragam krama sangat
jarang digunakan. Variasi campur kode pada percakapan pedagang etnis
Tionghoa di Salatiga, berwujud
kata,
frasa, atau
bastar
sedangkan
kode-kode
yang terlibat
dalam peristiwa campur
kode tersebut berasal dari bahasa Indonesia, bahasa Jawa, atau bahasa Inggris. Akulturasi budaya yang melekat dalam pilihan bahasa etnis Tionghoa, ditemukan dalam wujud variasi tunggal bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko, variasi alih
kode, dan variasi campur kode. Akulturasi budaya ini berasal dari budaya etnis Jawa yang berwujud adat istiadat dan kebiasaan yang dimiliki manusia
sebagai anggota masyarakat. Faktor yang melatarbelakangi pilihan bahasa pedagang etnis Tionghoa di Kota Salatiga
dibagi menjadi faktor yang melatarbelakangi digunakannya variasi tunggal bahasa, yaitu
situasi
(tempat atau
latar
peristiwa tutur) dan
partisipan dalam interaksi. Alih kode pedagang etnis Tionghoa disebabkan oleh partisipan, situasi, dan isi wacana, sedangkan campur kode disebabkan oleh penekanan maksud, keterbatasan penguasaan kode, dan
istilah yang lebih
popular.
Saran
Saran yang diberikan berdasarkan simpulan hasil penelitian tersebut adalah agar
Pembaca diharapkan dapat memahami isi penelitian ini sehingga mendapatkan
pengetahuan tentang akulturasi budaya dalam pilihan bahasa pedagang etnis Tionghoa di Salatiga. Pembaca perlu mengetahui bahwa sumbangsih etnis Jawa kepada etnis Tionghoa sangat besar, yaitu berupa budaya dagang etnis Jawa yang diakulturasi ke budaya dagang etnis Tionghoa di Salatiga. Saran untuk peneliti lain dalam bidang sosiolinguistis adalah
adar dapat melakukan penelitian serupa tentang akulturasi budaya yang terjadi pada etnis
Tionghoa atau etnis lain dalam
pilihan bahasa etnis tersebut karena masih
banyak peristiwa akulturasi budaya yang terjadi antaretnis yang sudah lama terlibat dalam suatu peristiwa tutur.
DAFTAR PUSTAKA
Fasold,
Ralph.1984. The Sociolinguistiks of Society.
England: Basil Blackwell Publisher. Groesjean, Fracois.
1982.
Life with Two
Languages. Cambridge: Harvard University Press.
Gunarwan, Asim.
2001a.
Pengantar Penelitian
Sosiolinguistik. Jakarta: Proyek Penelitian
Kebahasaan
dan
Kesastraan
Departemen Pendidikan Nasional.
Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistic (Second Edition). Cambridge: Cambridge University Press.
Koentjaraningrat. 1990.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
McCormack, William C dan Stephen A. Wurm. 1979. Language and Society Anthropological
Issues.
New
York: Mounton Publisher.
Miles,
M.B. dan A.M. Huberman. 1984.
Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New
Methods. California: Sage Publications.
Moleong, Lexy J.. 2010.
Metodologi Penelitian Kulaitatif. Bandung:
Rosdakarya.
Noeng, Muhadjir. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III. Yogyakarta:
Rake Sarasin. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa Pengantar
Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Pers.
Sumarsono dan Partana, Paina.
2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Komentar
Posting Komentar