EDISI APRESIASI PUISI KONTEMPORER @ MAHMUD HIDAYAT *COLONNES SANS FIN* SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya tiang tanpa topang tanpa apa di atasku tiang tanpa akhir tanpa duka lukaku tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu tiang tanpa akhir menuju ke mana kau dan aku yang langit koyak yang surga tumpah karena tinggi tikammu luka terhenyak neraka semakin galak dalam botolmu tiang tanpa akhir ah betapa kecilnya kau jauh di bawah kakiku Tiang (tonggak) adalah “kiasan sesuatu yag menjadi pokok kekuatan, penghidupan, dsb.” (KBBI, 2014: 1459). Dikatakan dalam puisi tersebut bahwa pokok kekuatan (penghidupan, dsb.) itu _tanpa akhir_ (“Colonnes Sans Fin”), tanpa ujung, tidak berkesudahan atau berpenghabisan sehingga tidak terlihat apa yang ada di atasnya ( _tanpa apa di atasnya_ ) dan tidak tahu rahasia apa yang ada di dalamnya. Akan tetapi, penghidupan ( _tiang_ ) tanpa fungsi penyokong atau penunjang ( _topang_ ) kehidupan akan membuat aku kehilangan harapan atau tujuan hidup ( _tanpa apa di atasku_ ) sehingga tidak ada lagi _...

AKULTURASI BUDAYA DALAM PILIHAN BAHASA PEDAGANG ETNIS TIONGHOA PADA RANAH PERDAGANGAN DI KOTA SALATIGA









AKULTURASI BUDAYA DALAM PILIHAN BAHASA PEDAGANG ETNIS TIONGHOA
PADA RANAH PERDAGANGAN DI KOTA SALATIGA





ARTIKEL TESIS


diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan






Oleh


Thomas Christian Wahyuintan
NIM 0202513026







PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016


PERSETUJUAN PEMBIMBING



Artikel tesis dengan judul Akulturasi Budaya dalam Pilihan Bahasa Pedagang Etnis

Tionghoa pada Ranah Perdagangan di Kota Salatiga yang disusun oleh:

nama                : Thomas Christian Wahyuintan

NIM                : 0202513026

program Studi : S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia

telah  disetujui pembimbing untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian

Tesis.










Semarang,  11 Februari  2016













Pembimbing I,                                                                          Pembimbing II,





Prof. Dr. Rustono, M.Hum.                                                     Dr. Mimi Mulyani, M.Hum.
NIP 19580127 198303 1 003                                                 NIP 196203181989032003

Akulturasi Budaya dalam Pilihan Bahasa
Pedagang Etnis Tionghoa
pada Ranah Perdagangan di Kota Salatiga

Thomas Christian* Rustono dan Mimi Mulyani**
Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Jl. Bendan Ngisor Semarang 50229

Abstrak
Tujuan penelitian sosiolinguistik ini adalah (1) memaparkan pilihan bahasa; (2)
akulturasi budaya dalam pilihan bahasa, dan; (3) mengidentifikasi faktor penyebabkan pilihan  bahasa  pedagang  etnis  Tionghoa  di  Salatiga.  Pengumpulan  data dilakukan dengan  metode  simak  dan  teknik  catat.  Analisis  data  penelitian  ini  adalah  analisis sosiolinguistis.  Pemaparan  hasil  analisis   data  menggunakan  metode  kualitatif.  Hasil penelitian ini adalah, ditemukannya pilihan bahasa dalam tuturan pedagang etnis Tionghoa di Kota Salatiga. Pilihan bahasa tersebut meliputi variasi tunggal bahasa,  alih kode, dan campur kode. Dalam pilihan bahasa tersebut ditemukan akulturasi budaya berupa adat istiadat dan kebiasaan yang dimiliki etnis Jawa. Akulturasi budaya tersebut muncul dalam variasi  tunggal   bahasa,  alih  kode  dan  campur  kode.  Faktor  yang  melatarbelakangi digunakannya variasi tunggal bahasa, yaitu situasi (tempat atau latar peristiwa tutur) dan partisipan dalam interaksi. Alih kode disebabkan oleh partisipan, situasi, dan isi wacana, sedangkan campur kode disebabkan oleh penekanan  maksud, keterbatasan penguasaan kode, dan  istilah yang lebih popular.

Kata kunci: akulturasi budaya; pilihan bahasa; pedagang etnis Tionghoa


Abstract
Sociolinguistic  research  objectives  are:  (1)  provide  a  choice  of  languages;  (2)
describe acculturation in a choice of languages, and; (3) identify the factors of cause of ethnic Chinese  language options traders in Salatiga. The data collection methods and techniques  refer  to  the  note.   The  data  analysis  of  this  research  is  the  analysis sosiolinguistis. Exposure data analysis using qualitative methods. Results of this research is the discovery of the choice of language in the speech of  ethnic Chinese traders in Salatiga. The language options include variations of a single language, code switching and code-mixing. In the choice of such language is found acculturation in the form of customs and habits that are owned Javanese. Acculturation appears in single variation of language, code switching and code-mixing. Factors behind the use of a single variety of languages, namely the situation (a place or  background speech event) and the participants in the interaction. Rather the code is caused by participants, the situation, and the content of the discourse, while the code-mixing caused by compression  intent, limited mastery of the code, and terms that are more popular.

Keywords: acculturation; choice of language; ethnic Chinese traders

Pendahuluan

Penggunaan bahasa di dalam masyarakat tidak dapat terlepas dari faktor sosial dan budaya. Gunarwan  (2001a:55-56)  menyatakan bahwa masyarakat tidak bersifat monolitik, tetapi  terdiri  atas   kelompok-kelompok  sosial  yang  terbentuk  oleh  kesamaan  fitur. Berdasarkan pendapat tersebut, maka di dalam sosiolinguistik bahasa terdiri atas ragam- ragam yang terbentuk oleh kelompok-kelompok sosial yang ada. McCormack dan Wurm (1979:615) berpendapat bahwa di dalam bahasa tercermin suatu  kebudayaan, sebanyak dalam bahasa tersebut tercipta kebudayaan. Bahasa ada dalam pikiran manusia,  tertuang keluar dari dirinya, dan bisa menjadi sumber kebudayaan. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pada  tiap  kelompok  masyarakat  memiliki  nilai-nilai sosial dan budaya  yang  terlihat  dari  penggunaan  bahasa  mereka  yang  berbeda  dari  masyarakat kelompok lainnya.
Setiap kelompok masyarakat memiliki perbedaan bahasa, hal ini disebabkan oleh lingkungan  sosial  mereka  masing-masing.  Kelompok  tutur  yang  memiliki  perbedaan linguistik apabila berinteraksi secara verbal maka tanpa mereka sadari akan menimbulkan kontak bahasa. Kontak bahasa berarti bertemunya dua bahasa yang berbeda dari kelompok tutur yang berbeda. Peristiwa yang berlansung secara terus menerus, maka akan terbentuk masyarakat dwibahasa atau multibahasa yang memiliki lebih dari satu bahasa. Masyarakat tutur tersebut akan mempunyai pilihan bahasa yang akan digunakan ketika  berinteraksi dengan mitra tutur.
Pilihan bahasa merupakan kajian sosiolinguis yang menarik karena kajiannya tidak hanya berkaitan  dengan aspek kebahasaan saja melainkan juga aspek sosial dan budaya dalam masyarakat. Hal itu dapat dibuktikan dari sifat bahasa yang variatif. Sifatnya yang variatif terjadi karena bahasa ditentukan oleh  faktor sosial, budaya, dan situasional dari penuturnya.  Alasan  pilihan  bahasa  menarik  untuk  dikaji,  selain  sifatnya  yang  variatif adalah karena hubungan dengan penggunaannya di masyarakat (Hudson 1996:1-2).
Pilihan  bahasa  yang  sesuai  dengan  situasi  tutur,  berarti  juga  berkaitan  dengan faktor budaya  masyarakat tutur tersebut. Pada setiap pilihan bahasa pasti akan terdapat budaya yang melekat pada bahasa tersebut. Demikian, dapat dikatakan bahwa keberagaan bahasa  akan  disertai  juga  dengan  keberagaman  budaya.  Peristiwa  kontak  bahasa  oleh kelompok tutur yang berbeda, tanpa disadari juga  akan diiringi dengan kontak budaya. Kebudayaan dari kelompok masyarakat yang berbeda, apabila saling  bersentuhan secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu, maka pada budaya tersebut  perlahan  akan terjadi proses akulturasi atau penyatuan budaya (akulturasi budaya). Persentuhan budaya

itu terjadi dengan berbagai perantara, salah satunya yaitu bahasa. Penggunaan bahasa dari kelompok tutur  satu dengan kelompok tutur lain ketika berinteraksi, tanpa disadari akan terjadi akulturasi budaya.
Kelompok masyarakat dengan budaya yang berakulturasi merupakan tanda bahwa kelompok  tersebut telah berinteraksi dalam kurun waktu  yang relatif lama. Fenomena akulturasi  dapat  dijadikan   tanda  bahwa  suatu  kelompok  telah  beradaptasi  dengan kebudayaan lain. Akulturasi budaya sudah  selayaknya terjadi namun tidak boleh sampai meninggalkan atau menghapus budaya asli mereka sendiri. Proses akulturasi budaya dapat dilihat, salah satunya dari pilihan bahasa suatu kelompok masyarakat yang meliputi bahasa tunggal, alih kode dan campur kode. Proses akulturasi budaya akan terlihat pada kota yang multietnis. Pada kota multietnis akan terdapat keragaman bahasa yang digunakan, sehingga akan terjadi proses akulturasi budaya lewat kontak bahasa dari etnis yang berbeda tersebut.
Etnis Tionghoa di Kota Salatiga memiliki keberagaman bahasa yang diakibatkan oleh interaksi  dengan etnis lain, salah satunya yaitu etnis Jawa. Proses interaksi etnis Tionghoa, etnis Jawa dan etnis  lainnya terjadi di kawasan Jalan Jendral Sudirman. Pada kawasan itu etnis Tionghoa dan etnis Jawa  adalah  dua etnis yang paling mendominasi. Mereka  berinteraksi  dalam  bidang  perdagangan  yaitu   interaksi  jual  beli.  Kawasan perdagangan itu terdiri atas pertokoan, pasar, pedagang kaki lima, warung  dan lainnya. Pada ranah perdagangan itu, Etnis Tionghoa dapat berperan sebagai penjual atau pembeli sama seperti etnis Jawa.
Kebudayaan etnis Tionghoa di Kota Salatiga mendapat pengaruh dari kebudayaan etnis  Jawa  dan  etnis  lainnya.  Hal  itu  dibuktikan  dengan  keragaman  bahasa  mereka. Interaksi yang dilakukan  etnis Tionghoa dengan etnis jawa dan etnis lainnnya berakibat terjadi kontak bahasa yang secara otomatis berakibat kepada akulturasi budaya. Akulturasi budaya mereka banyak terjadi di ranah perdagangan di sepanjang Jalan Jendral Sudirman Salatiga. Akulturasi budaya etnis Tionghoa di ranah perdagangan mendapat pengaruh dari etnis Jawa. Etnis Jawa dikenal sebagai penduduk asli pribumi di Salatiga yang memiliki beragam budaya. Kebudayaan etnis Jawa dapat terlihat dari penggunaan bahasa mereka ketika berinteraksi mitra tutur. Pilihan bahasa etnis Jawa adalah bahasa Jawa yang terdiri dari tingkatan ngoko, madya”, dan kromo” dan bahasa Indonesia. Akulturasi budaya etnis Tionghoa dan etnis Jawa dapat  dilihat dari pilihan bahasa yang digunakan etnis Tionghoa ketika berinteraksi.  Berdasarkan  hasil  pengamatan awal  di  lapangan  dengan menggunakan teknik sadap dan catat, ditemukan adanya akulturasi budaya dalam campur kode pedagang entis Tionghoa, yaitu pada penyebutan kata bela diri” yang  sebenarnya

dalam kosa kata etnis Tionghoa disebut kungfu. Bela diri digunakan secara dominan

oleh etnis Jawa di Salatiga sehingga menimbulkan akulturasi budaya bagi etnis Tionghoa.

Pada penelitian ini, aspek terpenting adalah akulturasi budaya yang terdapat dalam pilihan bahasa  etnis Tionghoa pada ranah perdagangan. Oleh karena itu, penelitian akan mengkaji akulturasi budaya yang  terdapat dalam pilihan bahasa tunggal, alih kode dan campur kode etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di sepanjang Jalan Jendral Sudirman di Kota Salatiga. Etnis Tionghoa dan etnis Jawa selalu berdampingan di ranah perdagangan Salatiga,  maka  bahasa  dan  budaya  mereka  juga  selalu   berdampingan  pada  ranah perdagangan itu. Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi pada pilihan  bahasa yang digunakan, akulturasi budaya dalam pilihan bahasa  dan  faktor penentu pilihan bahasa pedagang  etnis  Tionghoa  dalam  ranah  perdagangan  di  Salatiga.  Rumusan  masalah penelitian ini  adalah pilihan bahasa apakah yang digunakan, akulturasi budaya apakah yang  ada  dalam  pilihan  bahasa  pedagang  etnis  Tionghoa,  dan  faktor  apa  saja  yang menyebabkan  pilihan  bahasa  pedagang  etnis  Tionghoa  dalam  ranah  perdagangan  di Salatiga. Tujuan Penelitian ini, yaitu memaparkan pilihan bahasa pedagang etnis Tionghoa, memaparkan  akulturasi  budaya  dalam  pilihan  bahasa  pedagang  etnis  Tionghoa,  dan mengidentifikasi  faktor  apa  saja  yang  menyebabkan  pilihan  bahasa  pedagang  etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di Salatiga.


Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan teoretis sosiolinguistis. Pada penelitian dengan               pendekatan   sosiolinguistis,    pemilihan    bahasa    menjadi    fakta   sosial    dalam masyarakat.   Dalam   penelitian   ini   juga  digunakan            metodologis   kualitatif.   Dengan metodologis kualitatif, penelitian ini berorientasi pada gejala alami atau natural yang hanya dapat  diperoleh  dengan  cara  turun  ke  lapangan.  Peneliti  dalam  penelitian  ini  berperan sebagai  human  instrument  dan  sumber  data   bersifat  alami  (Moleong  1995:121-125). Berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini, maka digunakan metodologis kualitatif deskriptif  sebagai  pedoman  pelaksanaan  penelitian.  Data  yang   dikumpulkan  dengan metodologis kualitatif deskriptif berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan dalam bentuk uraian untuk deskripsi masalah.
Data penelitian ini berupa penggalan percakapan yang berwujud akulturasi budaya dalam pilihan  bahasa pedagang etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di Kota Salatiga dan konteks sosial dari hasil  rekam dan wawancara. Sumber data penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu penggalan percakapan masyarakat etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di Salatiga dan sumber data

sekunder adalah informan, sedangkan lokasi penelitian akulturasi budaya dalam pilihan bahasa ini dilakukan pada ranah perdagangan di Kota Salatiga. Ranah perdagangan tersebut adalah kawasan pertokoan tepatnya di kawasan Jalan Jendral Sudirman Salatiga.
Teknik Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada latar alami (natural setting)  yaitu  lokasi-lokasi  pada  ranah  perdagangan  yang  didalamnya  terjadi  interaksi antaretnis entis Tionghoa dan  etnis lainnya. Ranah perdagangan tersebut adalah kawasan pertokoan hingga pasar yang terdapat banyak pedagang dari etnis Tionghoa.
Pada  tahap  pengumpulan  data  dalam  penelitian  digunakan  teknik  simak  untuk pengambilan data primer dan teknik wawancara serta dokumentasi untuk pengambilan data sekunder. Data dikumpulkan  dengan teknik simak, baik dengan teknik simak libat cakap (SLC) maupun teknik simak bebas libat cakap (SLBC) (Sudaryanto 1993: 133-135). Kedua teknik itu diakhiri dengan klasifikasi atau pengelompokan kartu data. Tujuan kartu data ini adalah sebagai wadah data dalam proses pencarian, analisis data, dan  digunakan untuk pengamatan  penutur  pada  ranah  perdagangan  dalam  pemakaian  variasi  bahasa  yang didalamnya terdapat akulturasi budaya dan pemberian makna pada tinjauan data. Data yang sudah  diolah  kemudian  dianalisis.  Prosedur  yang  dugunakan  untuk  analisis  data  pada penelitian ini yaitu, (1) analisis  selama proses pengumpulan data, dan (2) analisis setelah pengumpulan  data  (Miles  dan  Huberman   1984:21-25;  Muhadjir  1996:105).  Teknik penyajian data dalam penelitian ini disesuaikan menurut Sudaryanto (1993:144-145) yang berpendapat bahwa penyajian data dibagi menjadi dua yaitu penyajian  data  informal dan penyajian data formal.


Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil  penelitian  dan  pembahasan  pada  penelitian  ini  meliputi  paparan  tentang pilihan  bahasa  yang  digunakan  pedagang  etnis  Tionghoa  pada  ranah  perdagangan  di Salatiga. Pilihan bahasa tersebut  meliputi variasi tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Variasi tunggal bahasa terdiri dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko, alih kode yang terjadi yaitu alih kode eksternal, dan campur  kode  terjadi pada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko. Pada pembahasan mengenai pilihan bahasa akan disajikan  24  data  dalam  wujud  transkrip  penggalan  percakapan.  Hasil  penelitian  dan pembahasan  berikutnya  yaitu  wujud  akulturasi  budaya  yang  ada  dalam  pilihan  bahasa pedagang etnis Tionghoa. Akulturasi budaya pedagang etnis Tionghoa di Salatiga diambil dari etnis Jawa yang tersebut  terdiri atas adat istiadat dan kebiasaan. Akulturasi budaya tersebut terjadi dalam bentuk pilihan bahasa  meliputi variasi tunggal bahasa, alih kode, campur kode. Pada pembahasan akulturasi budaya dalam pilihan bahasa akan disajikan 24

data dalam wujud transkrip penggalan percakapan. Dalam penelitian ini, juga dipaparkan faktor yang  melatarbelakangi digunakannya variasi tunggal bahasa, yaitu situasi (tempat atau  latar  peristiwa  tutur)  dan  partisipan  dalam  interaksi.  Alih  kode  disebabkan  oleh partisipan, situasi, dan isi wacana,  sedangkan  campur kode disebabkan oleh penekanan maksud, keterbatasan penguasaan kode, dan  istilah yang lebih popular.


Bentuk Pilihan Bahasa Etnis Tionghoa pada Ranah Perdagangan di Kota Salatiga

Hasil dan pembahasan berikut yaitu tentang pilihan bahasa pedagang etnis Tionghoa di salatiga,  yang meliputi variasi tunggal bahasa, alih kode, campur kode. Pilihan bahasa pedagang  etnis  Tionghoa  pada  ranah  perdagangan  di  Salatiga,  teridentifikasikan  pada pemakaian  variasi  bahasanya.  Terdapat  tiga  jenis  variasi  yang  dapat  digunakan  oleh pedagang etnis Tionghoa, yaitu variasi tunggal bahasa, variasi alih kode dan variasi campur kode. Dalam masing-masing variasi akan disajikan data dan pembahasannya.
Dalam    penggalan    percakapan    (1)    antara    pedagang    dan    pembeli    berikut, menggunakan variasi tunggal bahasa Indonesia.


(1) KONTEKS    :    PERCAKAPAN   TERJADI   ANTARA   PEDAGANG   ETNIS TIONGHOA  DAN  PEMBELI  DARI  ETNIS  TIONGHOA  DI SEBUAH CAFFE.

PEDAGANG        :     Minume apa Mbak?. [minumε apa әmba?]
(Minuman apa yang ingin dipesan Mbak?) PEMBELI         :                               Jus strawberry sama es coffemix Mbak”
[juz stroberry sama εs cOfimĩx әmba?]
(Saya memesan jus strawberry dan es merek coffemix Mbak) PEDAGANG         :                               Jusnya libur ik Mbak”
[jusña libUr i? әmba?]
(Jusnya untuk sementara habis Mbak) PEMBELI    :                               Es Jeruk Mbak”
[εs jәrU? әmba?]
(Kalau begitu saya pesan es jeruk saja Mbak) PEDAGANG           :                               Ya Mbak, ditunggu sebentar ya
[ya әmba?, ditUnggu sәbәntar ya]
(Baik Mbak, tolong ditunggu minumannya sebentar)


Pedagang etnis Tionghoa menjadi pemulai peristiwa tutur pada penggalan percakapan (1) tersebut. Pada  konteks ini, pedagang diwajibkan menyapa pembeli terlebih dahulu dan menanyakan  keperluannya.   Pilihan  bahasa  pedagang  etnis  Tionghoa  tersebut  dalam menyapa dan menanyakan keperluan pembeli, menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada tuturan minume apa Mbak?. Pembeli juga menggunakan pilihan bahasa yang sama dalam

menyesuaikan dengan pilihan bahasa pedagang, seperti pada tuturan jus strawberry sama es coffemix Mbak. Pilihan variasi tunggal bahasa Indonesia oleh pedagang etnis Tionghoa dilakukan  sebagai  penghormatan  pada  pembeli,  karena  pedagang  di  caffe  seperti  itu diwajibkan  menghormati  pembeli   yang  datang.  Menurut  pedagang  etnis  Tionghoa, pelayanan yang baik kepada pembeli, bukan hanya  berupa tindakan atau aktivitas tetapi juga berupa pilihan bahasa yang tepat. Jika pedagang etnis Tionghoa tersebut menggunakan bahasa Jawa untuk melayani pembeli, maka pembeli tersebut pasti telah dikenal dan terlibat situasi akrab sebelumnya, sehingga tidak diperlukan penghormatan pada pembeli tersebut.
Temuan variasi alih kode yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ragam krama, seperti pada penggalan percakapan (2) berikut.

(2) KONTEKS    :      PERISTIWA TUTUR TERJADI DI SEBUAH WARUNG NASI GORENG   ANTARA  PEDAGANG  DAN  PEMBELI  YANG MEMBELI NASI GORENG.

PEDAGANG        :      Ada lima ratus?[ada lĩma ratus]
(ada uang lima ratus rupiah?) PEMBELI    :                               Dah bawa dulu aja nda apa
[dah bawa dulu aja әnda? apa]
(Sudah uang kembaliannya di simpan dulu saja Pak) PEDAGANG         :                               Ninggal sik ya Mas”
[niɳ gal sĩk ya mas]
(Saya simpan dulu ya Mas?)
PEMBELI             :      Nggih Pak, gampang, monggo”
[ɳ gĩh pa?, gampaɳ , mOɳ gO]
(Ya Pak, tidak masalah, mari)

Ketika   pedagang   tidak   memiliki   uang   kembalian   untuk   pembeli,   pedagang menggunakan  tuturan ninggal sek ya Mas. Pedagang etnis Tionghoa dalam menjawab tuturan  tersebut   berusaha               menyesuaikan           pilihan               bahasanya                  dengan   pembeli    yang menggunakan   pilihan   bahasa   Jawa   ragam   krama.   Berdasarkan   hal   tersebut   dapat disimpulkan bahwa telah terjadi alih kode pada penggalan percakapan antara pedagang etnis Tionghoa dan pembeli dari  etnis Jawa. Alih kode tersebut adalah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ragam krama. Peralihan kode ini tidak disertai dengan peralihan situasi  tutur  karena  pembeli  ingin  tetap  mempertahankan  situasi  tutur  berjarak  sebagai bentuk rasa hormat kepada pedagang etnis Tionghoa.

Akulturasi Budaya Jawa dalam Variasi Tunggal Bahasa, Alih Kode, dan Campur

Kode Pedagang Etnis Tionghoa di Kota Salatiga

Pada setiap pilihan bahasa dari suatu masyarakat tutur, terdapat unsur budaya yang melekat dalam  bahasa tersebut.  Pada ranah perdagangan di Salatiga, akulturasi budaya melekat dalam pilihan bahasa, yaitu variasi tunggal bahasa. Wujud variasi tunggal bahasa yang  digunakan  pedagang  etnis  Tionghoa  salah  satunya  adalah  bahasa  Indonesia  Pada penggalan percakapan antara pedagang etnis Tionghoa  dengan pembeli dari etnis Jawa berikut, terdapat akulturasi budaya yang melekat didalamnya. Akulturasi  budaya tersebut melekat dalam wujud variasi tunggal bahasa pada bahasa Indonesia oleh pedagang etnis Tionghoa di Salatiga, seperti pada penggalan percakapan berikut.

(3)  KONTEKS    :    PERISTIWA  TUTUR  TERJADI  DI  SEBUAH  KONTER  HP, ANTARA                       SEORANG   PEDAGANG   DENGAN   SEORANG PEMBELI YANG BELUM DIKENAL.

PEDAGANG        :    Di Cek ya Mas?.” [dĩ cε? ya mas]
(tolong di cek kuotanya mas) PEMBELI      :           Iya, di potong sekalian Mas SIMnya.
[iya pOtOɳ  sәkalĩayan mas simña]
(Iya, tolong di potong SIMnya menjadi ukuran kecil sekalian)
PEDAGANG        :    Siap” [sĩyap’] (Baik)
PEMBELI             :    Kemaren kok tutup Mas?[kәmaren kO? tutup mas]
(Kemaren tokonya kenapa ditutup Mas?) PEDAGANG      :                               Lebaran pada pulang Mas sini”.
[lәbaran pada pulaɳ  mas sĩnĩ]
(Kalau lebaran pegawai di toko pulang semua Mas)
PEMBELI             :    Aku mau beli dari kemaren tutup terus”.
[aku maʷ  bә darĩ kәmaren tutup tәrus]
(Sejak kemaren saya ingin membeli kartu tetapi tokonya tutup terus)
PEDAGANG        :    Lha ini dah buka, Ini Mas.” [la ĩnĩ dah buka, ĩnĩ mas]
(Tetapi sekarang sudah buka Mas)
PEMBELI             :    Iya Mas, ini empat lima ribu. Makasih ya mas.” [ĩya mas, ĩnĩ әmpat lĩma rĩbU. Makasĩh ya mas]
(Iya Mas, ini uangnya berjumlah empat puluh lima ribu. terimakasih
Mas)
PEDAGANG        :    Iya Mas, sama-sama.” [ĩya mas, sama-sama]
(Iya Mas, terimakasih kembali)

Sebuah akulturasi budaya dapat diamati dari bentuk variasi tunggal bahasa tersebut ketika pembeli  bertanya  “kemaren  kog  tutup  Mas?,  pedagang  dari  etnis  Tionghoa  memberi jawaban “Lha kemaren  awal puasa to? Ya libur Mas. Pada kutipan tersebut, pedagang dari etnis Tionghoa mengatakan tokonya  libur jika awal puasa. Menutup toko pada awal puasa biasa dilakukan oleh sebagian pedagang Jawa bahkan di beberapa daerah di Indonesia yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Dalam kutipan tersebut diketahui bahwa etnis Tionghoa  juga  melakukan  budaya  yang  sama  seperti  yang  dilakukan  oleh  kebanyakan pedagang di Jawa. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi akulturasi budaya pada ranah perdagangan etnis Tionghoa dengan budaya perdagangan yang ada di
Jawa.

Pada penggalan percakapan (4) berikut juga melekat akulturasi budaya. Akulturasi budaya tersebut terdapat dalam variasi tunggal bahasa Jawa ragam ngoko. Pada percakapan berikut ini, pedagang dan pembeli sama-sama berasal dari etnis Tionghoa.


(4) KONTEKS    :      PERISTIWA TUTUR TERJADI DI SEBUAH TOKO SEPATU, ANTARA  PEMBELI DAN PEDAGANG YANG KEDUANYA ADALAH ETNIS TIONGHOA.

PEDAGANG        :      Rungatus Cik”
[rUɳ atus ci?]
(Harganya dua ratus ribu rupiah Mbak)
PEMBELI             :      Dikorting ah”
[dikOrtĩɳ  ah]
(Diturunkan harganya)
PEDAGANG        :      Wis  Murah  Cik,  mumpung  bodo  sih  murah,  mengko  malah mundak”
[wĩs  murah  ci?,  mumpUɳ     bOdO  sĩh  murah,  mәɳ kO  malah
munda?]
(Sudah  murah  Mbak,  Mumpung  masih  hari  raya  lebaran  masih murah, nanti setelah lebaran bisa naik)
PEMBELI             :      Pas ki?
[pas ki]
(Harga pas ini?) PEDAGANG       :                               Pas, tenan.
[pas, tәnan]
(Pas, benar)


Pada percakapan tersebut pedagang etnis Tionghoa menuturkan jika harga barang pada hari lebaran akan  murah, seperti pada tuturan Wis Murah Cik, mumpung bodo sek murah, mengko malah mundak. Pada  perdagangan di Jawa, pedagang etnis Jawa jika lebaran datang akan menurunkan harga sandang berupa baju, sepatu, dan celana. Pemberian diskon atau yang mereka sebut kortingan dilakukan pedagang untuk menarik minat pembeli. Dalam

penggalan percakapan tersebut, hal yang sama juga dilakukan oleh pedagang etnis Tionghoa pada bulan lebaran dengan memberi kortingan atau potongan harga seperti yang dilakukan dalam perdagangan di Jawa.  Berdasarkan bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa telah terjadi  akulturasi  budaya  pada  pedagang  etnis  Tionghoa  dalam  penggalan  percakapan tersebut. Akulturasi budaya berupa pemberian kortingan  atau  potongan harga dagangan ketika hari raya lebaran oleh pedagang dari etnis Tionghoa. Akulturasi budaya ini berwujud gagasan, yaitu aturan jual beli, dalam hal ini pemberian diskon pada hari raya  tertentu. Latarbelakang                          yang   menyebabkan    akulturasi    budaya   adalah    penyesuaian    terhadap kebudayaan yang dominan. Budaya tersebut dilakukan untuk menarik minat  pembeli saat lebaran karena akan banyak permintaan konsumen.


Faktor Penyebab Pilihan Bahasa Pedagang Etnis Tionghoa pada Ranah Pedagangan di Kota Salatiga
Faktor penyebab pilihan bahasa ditentukan dengan pertimbangan unsur berbahasa yang dirumuskan Hymes dengan jembatan keledai SPEAKING. Selain itu, faktor penyebab yang ditemukan dalam  penelitian ini juga dirumuskan berdasarkan konteks, antara lain berdasarkan rumusan Ervin-Trip (dalam  Grosjean 1982: 125) yang mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa,  yaitu (1) situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi.
Variasi alih kode dalam penggalan percakapan (3) berikut disebabkan karena kehadiran orang ketiga yang membawa bahasa berbeda yaitu bahasa Indonesia kedalam tuturan awal bahasa Jawa.


(3) KONTEKS ` :    SEBUAH PERISTIWA TUTUR TERJADI DISEBUAH LAPAK DAGANG   DI   PASAR,   ANTARA   SEORANG   PEDAGANG DENGAN  SEORANG                     PEMBELI,    KEMUDIAN                DATANG PEMBELI                              LAIN      YANG    MELAKUKAN    PERCAKAPAN DENGAN PEDAGANG TERSEBUT.

PEDAGANG        :    Menehe digawa ngene, opo diwadahi dunak Mbah?[Mәnεhe digOwO ηεnε OpO diwadai duna? әmbah] (Sisanya mau dibawa begini saja apa mau dimasukan ke dalam dunak Mbah)
PEMBELI 1          :    Diwadahi dunak wae!”
[diwadahi duna? waε]
(Dimasukan ke dalam dunak saja) PEMBELI 2       :                               Cik pisange masih?
[ci? pisaɳ e masĩh]
(Mbak apakah pisangnya masih ada?)
PEDAGANG        :    Oh belum mateng, besok ya.

[Oh bәlum mateɳ , bәsO? ya]
(Pisangnya belum masak, besok saja ya?)
PEMBELI             :    Oh iya udah[Oh iya udah] (Oh iya sudah)


Pedagang etnis Tionghoa pada penggalan percakapan tersebut mulanya berbicara dengan seorang  pembeli  lalu  datang  pembeli  lain.  Penggalan  percakapan  tersebut,  merupakan penggunaan  alih  kode  oleh   pedagang  dari  etnis  Tionghoa  dan  pembeli.  Pedagang mengawali tuturan menggunakan bahasa Jawa  ragam ngoko pada pembeli, seperti pada kutipan Menehe digawa ngene, opo diwadahi dunak Mbah?. Hal ini dikarenakan pembeli dan pedagang telah saling mengenal dan keduanya merupakan pedagang di pasar tersebut sehingga  tidak  diperlukan  penghormatan  namun  diperlukan  keakraban.  Pembeli  yang sebenarnya juga merupakan pedagang di pasar tersebut juga menanggapi dengan bahasa Jawa ragam  ngoko, seperti pada kutipan Diwadahi dunak wae!. Namun, ketika hadir pembeli kedua yang  menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada kutipan Cik pisange masih?, pedagang beralih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko kedalam bahasa Indonesia, seperti pada kutipan Oh belum mateng, besok ya”.  Fenomena alih kode tersebut terjadi karena hadirnya penutur ketiga yang menggunakan bahasa Indonesia  kepada pedagang. Pedagang  memutuskan  beralih  kode  karena  pedagang  tau  pembeli  tersebut  kurang menguasai bahasa Jawa dikarenakan usianya yang masih muda. Peralihan kode ditujukan untuk   menghindari   kesalahan  tujuan  interaksi.  Berdasarkan  paparan  tersebut,  dapat disimpulkan bahwa hadirnya orang ketiga yang membawa ragam bahasa Indonesia adalah alasan pedagang beralih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.


Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan dalam penelitian, simpulan  penelitian ini adalah pilihan bahasa yang digunakan pedagang etnis Tionghoa pada ranah perdagangan di Salatiga dibagi menjadi tiga, meliputi variasi tunggal bahasa, variasi alih kode, dan variasi campur kode. Wujud variasi  tunggal  bahasa pedagang etnis Tionghoa, meliputi (1) variasi tunggal bahasa Indonesia,  dan  (2) variasi tunggal bahasa Jawa. Pada ranah perdagangan di Salatiga, tidak dijumpai penggunaan  variasi tunggal bahasa  Jawa  ragam  krama  oleh  pedagang  etnis  Tionghoa.  Hal  ini  disebabkan  karena minimnya kode (parole) yang dikuasai. Variasi alih kode yang digunakan oleh pedagang etnis Tionghoa  pada ranah perdagangan, ditemukan berupa variasi alih kode eksternal (esternal code switching). Variasi alih kode ini berwujud peralihan antarbahasa dari bahasa

Indonesia ke bahasa Jawa dan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Pada penggunaan bahasa Jawa, lebih banyak ditemukan bahasa Jawa ragam ngoko, sedangkan ragam krama sangat jarang digunakan.  Variasi  campur  kode pada percakapan  pedagang  etnis  Tionghoa di Salatiga,  berwujud  kata,  frasa,  atau  bastar  sedangkan  kode-kode  yang  terlibat  dalam peristiwa campur kode tersebut berasal dari bahasa Indonesia,  bahasa Jawa, atau bahasa Inggris. Akulturasi budaya yang melekat dalam pilihan bahasa etnis Tionghoa, ditemukan dalam wujud variasi tunggal bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko, variasi alih kode, dan variasi campur kode. Akulturasi budaya ini berasal dari budaya etnis Jawa yang berwujud adat istiadat dan kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat. Faktor yang melatarbelakangi pilihan  bahasa pedagang etnis Tionghoa di Kota Salatiga dibagi menjadi faktor yang melatarbelakangi digunakannya variasi tunggal bahasa, yaitu situasi  (tempat  atau  latar  peristiwa  tutur)  dan  partisipan  dalam  interaksi.  Alih  kode pedagang etnis Tionghoa disebabkan oleh partisipan, situasi, dan isi wacana,  sedangkan campur kode disebabkan oleh penekanan maksud, keterbatasan penguasaan kode, dan
istilah yang lebih popular.




Saran


Saran yang diberikan berdasarkan simpulan hasil penelitian tersebut adalah agar


Pembaca    diharapkan    dapat   memahami    isi    penelitian    ini    sehingga    mendapatkan pengetahuan tentang akulturasi budaya dalam pilihan bahasa pedagang etnis Tionghoa di Salatiga. Pembaca perlu mengetahui bahwa sumbangsih etnis Jawa kepada etnis Tionghoa sangat besar, yaitu berupa budaya dagang etnis Jawa yang diakulturasi ke budaya dagang etnis Tionghoa di Salatiga. Saran untuk peneliti lain dalam bidang sosiolinguistis adalah adar dapat melakukan penelitian serupa tentang akulturasi budaya yang terjadi pada etnis Tionghoa atau etnis lain dalam pilihan bahasa etnis tersebut karena masih banyak peristiwa akulturasi budaya yang terjadi antaretnis yang sudah lama terlibat dalam suatu peristiwa tutur.

DAFTAR PUSTAKA
Fasold, Ralph.1984. The Sociolinguistiks of Society. England: Basil Blackwell Publisher. Groesjean, Fracois. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University Press. Gunarwan,  Asim.  2001a.  Pengantar  Penelitian  Sosiolinguistik.  Jakarta:  Proyek  Penelitian
Kebahasaan dan Kesastraan Departemen Pendidikan Nasional.


Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistic (Second Edition). Cambridge: Cambridge University Press. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
McCormack, William C dan Stephen A. Wurm. 1979. Language and Society Anthropological
Issues. New York: Mounton Publisher.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1984.  Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New
Methods. California: Sage Publications.

Moleong, Lexy J.. 2010. Metodologi Penelitian Kulaitatif. Bandung: Rosdakarya.
Noeng, Muhadjir. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin. Sudaryanto. 1993.  Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Pers.

Sumarsono dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Komentar